Kalau ada kalimat berikut,
"Beliin ane bendera kayak itu dong di mal, harganya direken ceban",
apa yang timbul di benak ada? Tidak mengerti atau mengertikah? Bingungkah? Atau
ada pendapat lain?
Kalimat seperti itu sering diucapkan
orang. Tidak ada yang aneh. Kalau unik, iya pasti. Kita rinci garis besarnya,
akhiran in mengandung unsur Bali, ane (saya, dari Arab), bendera
(Portugis), mal (mall, dari Inggris), reken (hitung, asal
Belanda), dan ceban (Rp10.000, diadopsi dari Tionghoa). Pengaruh dari
berbagai etnis atau bangsa terdapat dalam satu kalimat.
Jelas sangat unik. Mungkin tidak ada
satu pun bahasa di dunia yang begini. Ini hanya ada di Jakarta dalam dialek
Betawi. Namun masyarakat yang membacanya, khususnya warga Jakarta umumnya
mengerti makna kalimat tadi.
Ada lagi contoh singkat. Kita kan
sering kali menulis di ponsel, "Ntar gw sms yah". Gw kependekan dari gua
yang berarti saya. Tahu dari manakah asal kata gua? Dialek ini berasal
dari Hokkian, salah satu suku di Tiongkok. Lalu sms? Itu singkatan short
message service atau layanan pesan singkat dari Bahasa Inggris.
Pengaruh berbagai bahasa lokal dan
bahasa asing dalam satu kalimat (Dokpri)
Sungguh enak dibaca kalau kata-kata
asing itu bercampur dengan kata-kata lokal. Itulah yang namanya kebudayaan,
selalu mempengaruhi kebudayaan lain. Kalau kita lihat berbagai kamus Bahasa
Indonesia, memang terdapat banyak entry yang berasal dari kosa kata
daerah atau asing. Lumrah saja, karena banyak warga asing pernah datang bahkan
tinggal lama sampai menetap di Nusantara. Wajar pula kalau bangsa-bangsa
Nusantara pernah menyeberangi lautan luas berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain.
Beberapa kata dari negera kita pun
diserap oleh sejumlah negara. Coba cari di kamus-kamus bahasa asing, persamaan
kata orang hutan dan bambu. Apa yang diperoleh, tentu orangutan
dan bamboo. Memang dengan sedikit perubahan cara baca, tapi maknanya
tetap sama.
Kalau kita anggap kata-kata asing
yang digunakan dalam dialek sehari-hari adalah etnis tertentu, maka kalimat
tersebut adalah Indonesia. Yah, Indonesia bersatu karena adanya multikultural
atau keberagaman. Kalimat menjadi enak dibaca. Indonesia menjadi bersatu karena
kerukunan.
Dialek Betawi
Di luar Bahasa Indonesia, tentu saja
yang formal, Bahasa Indonesia dialek Jakarta (Betawi) banyak sekali
pendukungnya. Jangan heran karena Jakarta merupakan ibu kota negara. Sejak
bertahun-tahun lalu banyak pendatang mengadu nasib di sini. Ketika pulang ke
kampung, para pendatang itu membawa bahasa sehari-hari di Jakarta.
Sampai kini masyarakat Betawi masih
tetap memperlihatkan aneka unsur yang berasal dari suku dan bangsa yang
berbeda. Dalam upacara, misalnya, masih menyulut petasan yang berasal dari
tradisi Tionghoa. Begitu pula dalam berpakaian lewat kebaya encim dan baju
koko. Sebutan babe (dari kata babah) dan engkong diambil dari dialek Hokkian.
Ini hanya contoh kecil.
Semoga seluruh elemen warga,
terutama di Jakarta, bersatu membangun kota yang masih macet dan dilanda banjir
ini. Kita harus bersatu seperti kata-kata tadi, sehingga membentuk kalimat yang
enak didengar atau menjadi sebuah kekuatan bagi persatuan Jakarta kelak.