Encang,encing,nyak,babe,ponakan,misanan,semue,Assalamulaikum wr wb
Tulisan ane di blog ini emang nggak semua baru,tapi juga nggak basi,karena peristiwa sekarang kan pengulangan dari peristiwa
tempo dulu.Seneng,marah,sedih kan sama aja.
balyanurmd@yahoo.co.id
http://balyanurmd.wordpress.com
tempo dulu.Seneng,marah,sedih kan sama aja.
balyanurmd@yahoo.co.id
http://balyanurmd.wordpress.com
Senin, 30 September 2013
Selasa, 10 September 2013
Segepok Puisi Balya Nur
MATI KETAWA CARA JARKASIH
Jarkasih menemukan buku humor
di pinggir jalan
Jarkasih membaca sambil jalan
Sambil ketawa
Tiba-tiba motor datang menerjang
Nyawanya kontan melayang
Anak-anak mengejar
Disangkanya layang-layang
Temanku bilang,
Jarkasih korban humor
Ah, itu kan bisa-bisanya dia saja.
SEPIRING PUISI
Sejak mesin tikku tak ada lagi
Aku tak bisa lagi menulis puisi
Tentu kau bertanya.
Mengapa mesin tik tak ada lagi ?
Telah kutukar dengan sekarung nasi !
Kini aku ingin menulis puisi
Dengan lima jari
Tapi aku khawatir
Jariku akan tergadai lagi
LAGU BOGEM MENTAH
Tekotekkotek……………
Anak ayam turun sebelas
Mati sebelas tinggal induknya.
Keok ! Keok ! Kek…………
Induk ayam mati tercekik
Mati ayam tinggal malingnya
Ampun ! Ampun ! Am……
Maling ayam mati dihakimi massa
Maling mati tinggal massanya
Pakketiplakketiplung !
Masa lari dikejar hakim
Massa hilang tinggal hakimnya
Tok !
Hakim pulang
tinggal palunya.
ETIKA
Demi etika
Dan rasa hormat terhadap orang tua
Maka:
Lagu burung kakak tua
Dirubah syairnya
Menjadi seperti di bawah ini:
“Burung kakak tua
Menclok di jendela
Nenek sudah tua
Giginya utuh semua”
Dan seterusnya
MAU BIKIN SEGEPOK
Mau bikin puisi segepok
Takut kena gaplok
Cukuplah semangkok
Tambah pisang segepok
Jangan sambil merokok
Mau pulang ke Depok
Malah belok
Rumahku memang bukan di Depok
Makanya kalau nyetir jangan sambil mabok
(silakan lanjutkan…)
MENGENANG 20 TAHUN LENONG RUMPI AWARD
Oleh : Balya Nur
Tahun
1992,Lenong Rumpi menyelenggarakan Lenong Rumpi Award.Ini festival
lenong remaja yang pertama dan terakhir,bukan berarti tidak ada lagi
festival lenong,tapi yang dikemas mewah seperti layaknya Festival film
ini,Lenong Rumpi Award satu-satunya.Sebanyak 47 peserta tampil dalam
babak penyisihan di Bulungan,terpiilih 5 finalis,Sanggar Fajar
Ihya’88,Fajar Ibnu Sena,Hipta,Lenong Nusantara,dan Terminal
Kreatif.Rata-rata mereka bukan hanya aktif di teaer Lenong,tapi juga
teater modern yang pada waktu itu memang marak di lima wilayah Jakarta.
Saya
sebagai sutradara dan penulis naskah”Karim versus Karim” Sanggar Fajar
Ihya’88,yang Alhamdulillah menjadi juara I,dan juga pemian terbaik pria
atas nama Ita Saputra,menuliskan pengalaman saya selama proses latihan
sampai menjadi juara I yang memang proses yang saya lewati tidaklah
mudah.Tulisan ini pernah dimuat di mingguan Ibukota secara
bersambung,kemudian kali ini saya tulis ulang,siapa tahu bermanfaat bagi
generasi lenong berikut.Selamat menikmati.( Balya Nur)
Sanggar Fajar Ihya juara I. Foto: Tempo |
PROSES MENUJU JUARA LENONG RUMPI AWARD
1.
Bermula
dari acara berbuka puasa bersama keluarga besar Sanggar Fajar Ihya ’88.
Waktu itu, saya selaku pelatih teater modern di sanggar itu menawarkan
kepada wakil ketua sanggar untuk ikut lomba lenong yang diadakan di
Jakarta Flash Production, yang kemudian dikenal dengan Lenong Rumpi
Award. Waktu itu dia bertanya “Apakah kita akan yakin menang?”. Saya
menggelengkan kepala. Memang saya tidak bisa janji yang muluk-muluk.
Pertama, lomba semacam itu baru kali ini diadakan. Kedua, saya belum
tahu peta kekuatan lawan. Ketiga, baru pertama kali ini saya
menyutradarai lenong.
Untungnya
saya dihadapkan pada para pemain lenong yang berbakat. Ditambah lagi
beberapa diantara mereka pernah mengikuti program latihan teater modern.
Untuk
di tingkat babak penyisihan, kami cuma latihan kurang dari satu minggu.
Hal itu disebabkan bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Kami
membawakan cerita “Karim Versus Karim” yang semula saya persiapkan untuk
diajukan ke TPI oleh pengurus sanggar. Dalam penggarapannya, saya tidak
memakai konsep macam-macam karena keterbatasan waktu laihan. Jadi kami
memakai metode konvensional saja.
Keberhasilan
masuk final Lenong Rumpi Award, membuka kami putar otak untuk
memenangkan “perang.” Jadwal latihan disusun seketat mungkin. Disepakati
latihan setiap hari. Mulai pukul 13.00 sampai dengan pukul 21.00.
Dengan jadwal latihan itu, dengan perasaan berat, saya menerima
kenyataan dua orang pemain kami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Hal
itu menambah tekad saya untuk berbuat semaksimal mungkin. Bekerja
habis-habisan untuk meraih Award.
Tiga
jam pertama, kami pergunakan untuk mendiskusikan beberapa jenis teater
tradisional Betawi. Seperti, Lenong, Topeng Betawi, Topeng Si Jantuk,
Jipeng, Jinong, Blantek, juga berbagai jenis kesenian Betawi lain yang
kami dapatkan dari buku petunjuk tentang kesenian Betawi dari Proyek
Konservasi Kesenian Tradisional Betawi, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta,
dan juga dari beberapa kliping surat kabar yang memang sudah lama saya
dokumentasikan. Walaupun kami semua orang Betawi, tapi kami masih merasa
perlu mempelajari kebiasaan kehidupan sehari-hari orang Betawi tempo
Doeloe. Salah satunya yang nampak dalam pertunjukan kami adalah dengan
digunakannya kipas bambu yang dibungkus dengan kain yang digunakan oleh
Karim Duda.
Empat
jam selebihnya, hal tersebut diatas kami coba praktekan dalam “Karim
Versus Karim” yang telah saya adakan perombakan besar dari apa yang kami
tampilkan dalam babak penyisihan. Setelah kami mendapatkan model yang
kami anggap cocok dari berbagai jenis teater tradisional Betawi itu,
kami mulai memodifikasi sesuai tuntutan naskah.
Saat
latihan seperti itu memang saat yang sangat berat bagi kami. Untungnya
walau dalam keterbatasan dana, pengurus sanggar mensuplai konsumsi
selama latihan digedung Sasana Krida Ulujami, Jakarta Selatan.
Untuk
menyemangati para pemain, saya cuma menjanjikan, jika kita nanti
berhasil memenangkan “perang” berarti jalan untuk kemasa depan akan
terbuka lebar. Saya umpamakan sebagai transmigran yang dengan tekun
membuka lahan perkebunan.
Bagi
saya pribadi, latihan menjadi 24 jam dalam sehari. Sepulang dari tempat
latihan, sukar sekali rasanya untuk beristrirahat. Tekad “berani mati”
para pemain selalu mengganggu pikiran saya. Sehingga mendorong saya
untuk berbuat lebih banyak lagi.
Dirumah,
saya mengevaluasikan hasi latihan. Untuk merasuk kedalam alam “lenong”
saya sering memutar kaset Topeng Si Jantuk , dan lagu-lagu Betawi. Saya
tidak lagi menikmati acara televisi. Sebelum berangkat latihan, saya
membuat rencana-rencana untuk diterapkan dalam latihan.
Tiga hari menjelang malam final, saya belum menemukan nuansa untuk saya terapkan dalam
adegan romantis antara kedua anak Karim. Tadinya saya ingin memasukkan
lagu “ngleolo” yang biasanya dinyanyikan dalam Topeng Si Jantuk, tapi
saya kesukaran mencari penyanyi wanita yang pas. Saya selalu teringat
romentisme ala India. Hari-hari saya, saya lalui dengan lagu-lagu India.
Akhirnya ketemu juga. Intro lagu dari salah satu lagu film “La Waris”
menyentuh hati saya tepat pada saat saya sedang mengetik dialog “resmi”
adegan percintaan itu. Walaupun pada akhirnya saya kecewa karena pada
malam final, mikerofonnya tidak full sehingga lagunya terdengar agak
samar. Tinggal satu lagi yang mengganggu pikiran saya, yaitu untuk
adegan penutup. Untunglah, satu hari menjelang malam final, adegan yang merisaukan itu menginap di tempurung kepala saya saat saya sedang……mencuci sepatu!
Kembali
ke suasana latihan. Saya tidak ingin para pemain menjadi lelah baik
fisik maupun mental. Karena itu sangat mengganggu kreativitas mereka.
Kalau saya melihat mereka sudah agak lelah, saya hentikan latihan. Saya
ajak mereka bercanda. Nah dalam bercanda itulah kadang-kadang saya
menemukan hal yang saya anggap lucu untuk kemudian saya terapkan dalam
naskah.
Untungnya,
seperti saya katakana dari awal tadi, saya bekerja dengan para pemain
yang sangat berbakat. Mereka sering memberikan tawaran/inspirasi bagi
saya. Saat proses latihan, walaupun otak saya bercerai-berai menjadi
Sembilan (Delapan untuk pemain, dan satu untuk konsep musik) tidak
menjadikan saya kehilangan akal.
Menjelang
pertunjukan kami di malam final merupakan persoalan tersendiri.
Terlebih kami tampil diurutan paling akhir. Dari jadwal yang tertera
sekitar pukul sebelas malam, walau pada akhirnya menjadi melar satu jam.
Maka sejak pagi saya minta kepada pengurus sanggar untuk tidak
mengganggu para pemain untuk urusan diluar tugasnya. Para pemain harus cukup beristirahat. Dan seksi konsumen dan seksi perlengkapan bekerja ekstra keras untuk melayani para pemain.
2.
Satu
persatu grup finalis mulai tampil mempertontonkan kebolehannya. Secara
umum, mereka memang tidak mengecewakan sebagai finalis. Walaupun saya
lihat ada beberapa kelemahan mereka. Kelemahan para finalis itulah yang
saya “suntikan” kepada para pemain. Karena terus terang saja, ada
beberapa pemain kami yang “terpukul” mentalnya melihat pertunjukan Fajar
Ibnu Sena, Terminal Kreatif, dan Lenong Nusantara. Kepercayaan diri
sebagian pemain agak sedikit goyah.
Lalu
para pemain saya kumpulkan. Saya ceritakan tentang pertunjukan Fajar
Ibnu Sena. Pertunjukan mereka memang Nampak menarik dan mulus. Tapi
kadang-kadang tersendat-sendat. Mereka nampak sangat tegang dan terlalu
berhati-hati, ditambah lagi tidak adanya bumbu humor. Untuk itu saya
minta kepada para pemain untuk bermain rileks. Karena dengan rileks itu
akan muncul improvisasi/spontanitas segar. Dan tentang pertunjukan
Terminal Kreatif, memang mereka berhasil mengocok habis perut para
penonton, tapi mereka bermain tanpa “pola”, tanpa “pakem”. Untuk itu
saya minta kepada para pemain agar bermain sesuai garis yang telah
ditetapkan selama latihan.
Tentang
Lenong Nusantara, saya melihat sutradaranya yang sekaligus bermain
nampak kali ingin lebih menonjol dari pemain lainnya sehingga nampak
asyik bermain sendiri. Untuk itu saya minta kepada para pemain terutama
Mian (B. Hermanto) untuk dapat mengendalikan diri.
Kepada
B. Hermanto memang secara khusus saya minta agar berbesar hati.
Walaupun sebenarnya dia pemain yang cukup berpengalaman, tapi dia tidak
saya jagokan/calonkan untuk menjadi pemain terbaik, oleh sebab beberapa alasan vital.
Dalam
babak pertama, adegan pertengkaran antara Karim Kumis (Ita Saputra) dan
Karim Duda (M. Soleh Tado) saya tekankan agar keduanya hafal teks.
Tidak boleh lebih tidak boleh kurang. Hal itu untuk menjaga irama
pertunjukan secara keseluruhan. Untuk babak kedua dan ketiga saya
perbolehkan para pemain berimprovisasi/spontanitas. Berhubung saya tahu
kalau pemain lenong sudah “syur” dalam improvisasi, mereka kadang-kadang
keluar dari naskah. Untuk itulah saya tugaskan B. Hermanto untuk
menjaga agar pemain tetap berjalan pada relnya saat “syur” berlangsung.
Akhirnya
dia memang menjalankan tugasnya dengan baik. Ada beberapa kali
permainan hampir keluar dari rel, dengan cekatan dia giring masuk ke
dalam rel. dan satu kenyataan, Ita Saputra yang memang malam itu bermain
sangat bagus, baik hafalan teks, maupun imporovisasi, keluar sebagai
actor terbaik.
Memang
secara diam-diam, dialah yang saya jagokan untuk merebut actor terbaik.
Ditambah dia memang sudah sejak tahun 1969 ikut main lenong keliling,
dan sekarang dia menjadi pencerita “Sohibul Hikayat” di berbagai tempat dan sempat satu kali masuk dapur rekaman.
Semula
saya duga Hipta akan bermain sangat bagus seperti pada babak
penyisihan. Dengan demikian, jika nanti pementasan kami berada di bawah
kwalitas Hipta, bukan mustahil akan dicemoohkan penonton. Maka saya
minta kepada para pemain untuk siap menghadapi segala kemungkinkan.
Satu-satunya pilihan adalah: Bermain habis-habisan!.
Tapi
sungguh diluar dugaan saya. Entah ada apa dengan rekan-rekan saya dari
Bulungan iu. Malam itu Hipta bermain sangat lamban. Improvisasinya
kendor sehingga membuat peluang penonton berteriak dan sebagian
meninggalkan gedung pertunjukan.
Melihat
situasi seperti itu, giliran saya yang “terpukul”. Hipta mengakhiri
pementasannya diiringi dengan kejengkelan penonton. Saya mulai
menganalisa dan mengukur sikap penonton yang sedang jengkel itu. Jika
saja pada gebrakkan pertama kami nanti tidak bisa merebut hati penonton,
bukan mustahil akan hancurlah seluruh pementasan kami. Cuma ada satu
pilihan: Mengikat penonton pada gebrakan pertama atau gagal sekalian!
Ketika
saya sedang mempersiapkan set dekor, dan Robby Tumewu sedang
menjelaskan tentang sanggar kami, para penonton berteriak tidak sabar.
Dan itu cukup membuat lutut saya gemetar. Para pemain tidak tahu keadaan
itu. Mereka sudah siap dibalik layar.
3.
Di
depan pintu masuk Puri Agung Sahid Jaya Hotel, saya dicegat oleh
wartawan sebuah harian sore Ibukota. Dia minta waktu untuk mewawancarai
saya.
“Mengapa tidak nanti saja setelah pengumuman pemenang?” Tanya saya
“Saya yakin grup anda akan keluar sebagai juara I.” jawabnya
“Mengapa Anda begitu yakin?” Tanya saya lagi. Dalam hati saya bangga mendapat dukungan moral seperti itu.
“Anda belum baca Koran saya sore ini?” tanyanya. Saya menggelengkan kepala, tidak mengerti.
Belakangan
setelah selesai wawancara, dia menghadiahkan koran yang dia maksud
tadi. Dihalaman tengah, saya membaca judul yang membuat hati saya agak
sedikit lega. Cerita “Karim Versus Karim Berpeluang Menjadi Juara”
Saya
berikan koran itu kepada teman-teman saya yang telah menyelesaikan
santap malamnya. Saya sendiri –oleh sebab wawancara itu – tidak sempat
mencicipi lezatnya santap malam ala Sahid Jaya Hotel. Tak apalah. Berita
dikoran sore itu cukup membuat perut saya kenyang.
Tapi
walaupun begitu, tetap saja pengumuman para pemenang Lenong Rumpi Award
yang sangat megah bagai pengumuman piala oscar itu membuat jantung saya
berdetak lebih cepat dari biasanya.
Saya menghayal, akan sangat bangga sekali jika apa yang ditulis koran sore itu menjadi kenyataan.
Dan…….Alhamdulillah!
perjuangan yang sangat berat selama dua minggu malam itu membuahkan
hasil yang setimpal. Bayangkan saja, kami menjadi juara I dari lomba
yang baru pertama kali ini diselenggarakan. Satu persatu teman saya
menyalami dan memeluk saya. Juga salam dari rekan-rekan sesama finalis.
Koordinator/Wakil
Ketua Sanggar Fajar Ihya ’88 yang memang sejak awal ingin sekali naik
keatas pentas menerima piala lambang permasi lenong itu dengan langkah
enteng naik pentas diiringi dengan lampu blitz camera wartawan.
Dalam
perjalanan pulang, saya membayangkan tentu Ketua Sanggar Fajar Ihya ’88
yang sedang kurang sehat akan sedikit dapat terobati dengan “hadiah”
piala ini. Senyum dan tawa di wajah teman-teman saya tidak pernah surut.
Memang hal itu sangat wajar mengingat perjuangan kami yang sangat berat selama dua minggu.
TUYUL DALAM PELUKAN
Cerita santai:Balya Nur
Teman saya punya teman, pedagang bakso keliling.Pedagang bakso ini punya banyak langganan. Salah satunya, Weni Juweni yang
tinggal di Perumahan Daru Indah.Weni Juweni punya kucing, namanya si
Manis. Si Manis punya teman namanya si Hitam. Si Hitam milik Pak Giyono
No. Beliau ini guru.Salah seorang muridnya bernama Zakaria, anak Pak
Wahab pedagang kelontong. Pak Wahab punya adik bernama Jalil. Nah, si
Jalil ini pada suatu sore mengajak saya makan roti bakar di warung bubur
depan Mall.
Ill.don yon, tabloid idola |
Di
warung itu si Jalil bercerita tentang makhluk halus dan sekitarnya.
Katanya, jika kita ingin melihat makhluk halus, kita harus mencukur
semua bulu yang tumbuh di tubuh kita. Termasuk bulu yang paling sulit
dicukur, yaitu bulu hidung.
“Apa pernah kau praktekkan, Lil?” Tanya saya tidak percaya.
“Praktekkan sih belum,” jawabnya kalem.
“Lalu darimana kamu yakin hal itu bisa terwujud?”
“Bukan cuma satu orang yang bilang, banyak. Dan rata-rata orang pintar.”
“Kenapa tidak kamu saja yang praktekan?”
“Aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut melihat setan.”
Jalil
memang penakut,beruntung saya tidak ketularan Jalil.Ditambah lagi,saya
tergolong orang yang selalu ingin tahu,dan gemar tantangan.
Saya
mencukur semua bulu yang ada di tubuh saya sesuai saran Jalil.Bagaimana
caranya saya mencukur bulu hidung,pembaca tak perlu tahu,pokoknya punya
tehnik tersendiri.
Setelah
bulu terahir tanggal dari tubuh saya,benar saja.Saya melihat banyak
mahluk aneh yang selama ini hanya saya dengar cerita saja.Ada yang
rambutnya berdiri ke atas seperti api,ada yang matanya ke depan
sebelah.Ada yang memainkan lidahnya seperti main Yoyo.Pantas saja Jalil
takut.Saya mulai mencari-cari,barangkali ada yang lebih aneh.
Di
lapangan bola,saya melihat banyak mahluk kecil bekepala gundul sedang
bermain layang-layang.Barangkali ini yang disebut Tuyul.Saya ingin
menguji,apakah mereka juga dapat melihat saya?
Kebetulan di sudut lapangan,ada tiga tuyul sedang main gundu.
“Boleh saya ikut bermain?” Tanya saya kepada mereka.Mereka acuh saja.Hmmm..berarti mereka bukan hanya
tidak melihat saya,tapi juga tidak dapat mendengar suara saya.Atau
memang mereka sengaja cuek? Tapi apakah mereka juga tidak bisa saya
sentuh? Lha katanya kan ada orang yang ditabok setan,padahal dia ngak
bisa ngeliat setan.Coba deh.Salah satu dari mereka saya jitak kepalanya.
“Aduh ! Siapa nih yang jitak kepala gue?” Rupanya tuyul asal Jakarta. Dia memegangi kepalanya yang licin.
“Siapa
yang menjitak? Lu kalau udah kalah,banyak alasan.” Temannya rupanya
tersinggung dituduh menjitak. Lalu mereka baikan lagi.Sekarang giliran
tuyul yang dituduh menjitak tadi saya jitak kepalanya,bahkan lebih keras
lagi.
“Aduh!” dia menjerit memegangi kepalanya.”Gue sudah bilang,bukan gue yang jitak kepala lu.Kenapa lu bales jitak kepala gue? “
Tentu saja kedua temannya bengong.Kini giliran tuyul ketiga saya jitak lebih keras lagi.
“Aduh!” dia memegangi kepalanya sambil celingak-celinguk.
“Iya,nih bulu kuduk gue berdiri.” Hmm.tuyul ada juga yang lebai.emangnya dia punya bulu?
“Pantas babe gue bilang,tempat ini angker.”
Lho.Berarti
tuyul juga punya rasa takut seperti manusia?Saya jadi ingin
tahu,seperti apa sih kalau tuyul ketakutan?Ketiganya saya beri hadiah
jitakan di kepala.
“Wah,be..beb..bener
nih.Toloong..ada manusiaaa…” Ketiganya lari tunggang
langgang.Teman-temannya yang sedang bermain layang-layang ikut lari.
Tidak
lama kemudian,anak-anak tuyul itu datang lagi bersama tiga mahluk yang
mirip tuyul tapi lebih besar.Mungkin mereka bapak ketiga anak tuyul yang
tadi aku jitak.Mereka membawa nampan berisi setumpuk uang,segelas
kopi,dua bungkus rokok dan ayam goreng.Nampan itu dielatakkkan di tanah
di depanku.Salah satu dari mereka menyembah dan bicara.”Ini kami
persembahkan sesajen,pergilah dari tempat ini.Jangan ganggu anak-anak
kami lagi.”
Sejak
kejadian itu,saya jadi rajin menggoda tuyul.kalau biasanya-menurut
kabar burung- tuyul suka mencuri duit manusia,maka kali ini gantian,uang
meraka yang saya curi.
Saya
mau cari suasana baru,barangkali di kuburan ada yang menarik.Rupanya di
pemakaman umum sedang ada kegiatan kerja bakti.Salah satu dari mereka
menjadi komandan kerja bakti.Sesehantu (kalau untuk manusia,seseorang)
datang membawa secarik kertas.Memberi hormat kepada sang komandan.
“Permisi,Pak.Bapak ketua rukun kubur di sini?”
Sang komandan mengangguk.Kepalanya seperti terbuat dari karet.Anggukan yang menurutku menyeramkan.Iya,lah.Namanya juga hantu.
“Saya mau lapor,Pak.”
“O,silakan ke kubur,” ajak sang komandan.
Saya
mengikuti keduanya,masuk ke dalam sebuah kubur besar. Pada pintu kubur
itu ada papan nama bertuliskan: Ketua Rukun Kubur 03/Rukun Arwah 05.
Setelah mempersilakan tamunya duduk,sang komandan membuka buku catatan.
“Mana surat kematiaannya?”
Sesehantu itu menyodorkan kertas yang sejak tadi dipegang.
“Saudara mati tertabrak bis kota ?”
Sesehantu itu mengangguk,tapi anggukannya normal,mungkin karena hantu baru.
“Ngomong-ngomong di sini kerja baktinya seminggu berapa kali,Pak ?”
“Tidak
tentu.Kebetulan besok ada pejabat yang mau dikubur di sini,katanya sih
koruptor yang mati gantung diri di monas,atau mungkin digantung.Nggak
tahu lah.Pokoknya bagi saya,yang penting dia sudah mati,berarti dia
warga saya.”
Saya ingin tahu cara mereka menyembut pejabat yang akan dimakamkan di pemakaman ini.
Pagi
hari suasana cukup meriah.banyak hantu dengan berbagai penampilan aneh
bersiap menyambut tamu penting.Sirene mobil jenazah
meraung-raung.Kesibukan bertambah.Tapi..tiba-tiba para hantu itu
menghilang.Kemana mereka? Saya mengggaruk-garuk kepala disebabkan oleh
bingung itu.Saya terkejut.Rambut tipis mulau tumbuh di kepala
saya.Pantas saya tidak bisa lagi melihat para hantu itu.
Nah,
bagi para pembaca yang kebetulan sudah terlanjur membaca cerita
ini.Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan,maka perhatikanlah
saran saya berikut ini. Pertama,jauhkan cerita ini dari anak-anak.Kedua,
jangan percaya kepada penulis cerita ini.Saran kedua ini perlu digaris
bawahi.
Dimuat di Tabloid IDOLA,18 Desember 1990,revisi maret 2012.
DONGENG BANG KUMIS
Cerita santai : Balya Nur
Ill : ndableg.com |
Mpok Zuleha bangga
betul dengan kumis suaminya.Kumis itulah yang bikin dia lengket terus
sejak pacaran dulu sampai sudah punya anak perjaka.Dia tidak bisa tidur
sebelum mengelus elus kumis bang Somad Kumis,suaminya.
Malam ini Bang
Somad Kumis nampaknya tidak bisa tidur.Mpok Zuleha,istrinya seperti
biasa,rebahan di samping suaminya sambil mengelus-elus kumis suaminya.
Mata Bang Somad
menatap langit-langit.” Bang Somad Klimis akan dipromosikan menjadi
pengurus partai tingkat kecamatan,” kata Bang Somad Kumis kepada
istrinya,tapi nada suaranya sepertinya dia bicara dengan dirinya
sendiri.” Gue mau nyalonin jadi ketua partai tingkat kelurahan.Lu doain
aje,gue sih yakin banget insya Allah berhasil.Siapa coba yang berhasil
memenangkan Bang Foke di kelurahan ini.Kalau nggak ada gue mana bisa
menang.Iya,kan?”
Bang Somad melirik istrinya.” Yaah..lu tidur.” Istrinya nampak pulas,tangannya masih menempel di kumis Bang Somad Kumis.
Di kampung di
kelurahan itu ada dua Somad.Somad Klimis,ketua partai pengusung Foke
tingkat kelurahan.Disebut Klimis karena dia tidak bekumis,untuk
membedakan Bang Somad yang berkumis.
Bang Somad Kumis
walaupun dia tidak memegang jabatan struktural di lembaga apapun,tapi
dia cukup punya pengaruh kuat.Buktinya sewaktu Pilkada DKI putaran
pertama,Bang Somad berhasil memenangkan Foke di kelurahannya.Sebagai
pengusaha tambak ikan,Bang Somad Kumis tidak segan mengeluarkan uang
buat memenangkan jagoan berkumisnya itu.
Tentu saja bukan
uang yang dicari Bang Somad Kumis.Dia mengincar jabatan ketua partai
tingkat kelurahan.Dia bercita-cita menjadi anggota DPR atau minimal
DPRD.
Tapi Bang Somad
Kumis belum berpengalaman di dunia politik tingkat desa
sekalipun.Politik penuh intrik.Seorang yang berjasa belum tentu bisa
otomatis menduduki jabatan struktural.Bagai disambar geledek di siang
bolong ketika dia medapatkan kenyataan,yang menjadi pengurus parta
tingkat kelurahan ternyata Bapak Hamdani,SH.
Karuan saja Bang
Somad uing-uringan.Di kamarnya dia seperti layangan singit. Berputar
tidak karuan.Mpok Zuleha yang sudah ngebet ingin memegang kumis
suaminya,ikut uring-uringan.
“Bang,ngomelnya sambil tiduran,tangan aye sudah gatel nih.” Mpok Zuleha merajuk
“Diem,lu.Nggak tahu gue lagi puyeng tujuh keliling,lu masih mikirin ngelus kumis.Ikut prihatin dong..”
“ Bang Hamdani kan
punya titel,abang kan cuma tamatan SMA,Sudah deh,kita bersyukur saja apa
yang kita dapat sekarang.Ayo, tidur..”
“Enteng benget mulut
lu ya? Titel nggak bisa menjamin kerjanya bagus.Sewaktu pilkada putaran
pertama,apa kerjanya dia? Cuma ngomong sama manggut-manggut aja,gue yang
berkeringat,dan nguras kantong.”
Singkat cerita,Bang Somad patah arang dengan partai yang sekarang dia menjadi aktifisnya.
Tim pemenangan
Jokowi melihat peluang emas ini.Dia menadatangi Bang Somad Kumis.Dengan
baju kotak-kotaknya mereka tersenyum ramah.
“Begini Bang..” kata
juru bicara tim sukses Jokowi.”Pokoknya kalau Bang Somad Kumis berhasil
menangin Jokowi di kampung ini,Abang pasti jadi ketua partai pengusung
Jokowi, tingkat kelurahan .Dan emang itu sudah sepantasnya.Kita
menghargai setiap keringat yang menetes.” Kembali tim sukes itu
tersenyum ramah,senyum khas tim sukses.
“ Cuma, maf nih
Bang.Ini maaf seribu maaf Bang.Supaya oaring-orang percaya sekarang
Abang beralih ke Jokowi,ini maaf lho Bang.Saya usul,Abang mencukur
kumis…” Juru bicara Tim sukses Jokowi menghentikan bicaranya,dia menungu
reaksi Bang Somad kumis dengan tegang
“Setuju!” Bang
Somad mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga nampak ototnya tegang.Tim
sukes bernafas lega.Nampak pada wajah Bang Somad kumis ada rasa dendam
yang tertahan.Juga ada keinginan kuat atas harapan ke masa depan yang
terbuka lebar,menjadi anggota parlemen.”Tenang saja,saya yakin berhasil
memenangkan Jokowi,saya kalau bekerja tidak tanggung-tanggung.Lihat saja
nanti.”
Dan janji Bang
Somad Kumis dibayar kontan.Dia bukan hanya mulai memakai baju
kotak-kotak,tapi juga mencukur kumisnya! Tentu saja malapetaka bagi
istrinya.
Mpok Zuleha
seperti kemasukan setan gagu melihat wajah suaminya.Mulutnya
menganga.Matanya melotot.Tangannya menunjuk ke wajah
suaminya.Rojali,anak perjakanya juga ikutan bengong.Bang Somad yang
sudah tidak berkumis lagi itu angkat bicara.
“Coba kalian
mengerti,ini politik.Gue mau nujukin,titel nggak bisa menjamin orang
sukses di kemasyarakatan.Lihat saja nanti,orang yang dulu milih Bang
Kumis,sekarang gue bikin milih Jokowi semuanya.Gue cukur kumis sebagai
tanda gue sudah putus hubungan dengan Bang Kumis.”
“Aye nggak perduli
abang mau milih siapa.” Mpok Zuleha yang sudah pulih dari bengongnya
mulai menimpali.”Tapi soal abang nyukur kumis itu berarti abang emang
sudah pengen putus hubungan dengan aye,Bang..” Mpok Zuleha mulia mewek.
“Kumis ini habis pilkada juga tumbuh lagi.Ini cuma sebentar kok…Sabar saja..”
“Nggak.Sedetikpun aye nggak mau ngelihat muka abang kelimis gitu.Pulangin aye ke rumah orang tua aye,Bang…”
Bang Somad jadi
keder tujuh keliling,pertengkaran itu tentu saja tidak menguntungkan
bagi misi memenangkan jagonya yang orang Solo itu.Ditambah ancaman
Rojali,anaknya yang mengancam akan golput jika babe dan enyaknya
betengkar terus.
Ya, ini cuma dongeng.Dongeng politik.
Dongeng? Aku kok ragu ya….
29 Agustus 2012
Senin, 09 September 2013
Borong....Borong.....Bengong...Bengong....
Cerita santai : Balya Nur
“Coba
periksa lagi,Bang.Di celana yang digantung itu barangkali masih ada
duit yang nyelip,”perintah Mpok Encun kepada suaminya.Bang
Topik,suaminya menurut saja.Walaupun Bang Topik guru silat,dan punya
banyak murid di seantero kampung ,kalau sudah ngedepin bininya yang rada
cerewet,Bang Topik cuma bisa ngeluarin jurus nurut.Bukan dia takut sama
bininya,cuma pengeng saja dengerin bininya nyap nyap.
Bang
Topik menjambret celana panjang yang tergantung di tambang.Merogoh dua
kantongnya,mengibas-ngibaskannya dengan rada kesal,dan sekali lagi
merogoh kantong dengan jengkel.
“
Ya udah deh kalau nggak ada,disuruh gitu aja marah.Sudah, cepetan ganti
baju,entar keburu kesorean.Ke mana tuh anak-anak.Udah pada rapih,pasti
main kotoran lagi.” Mpok Encun keluar kamar,teriak memanggil
anak-anaknya,”Ojiiih…Imaaah…Ipaaah…Ojaaan….”
Keempat anaknya berhamburan menghampiri ibunya.Bang
Topik yang sudah ganti baju,keluar kamar nyemperin istrinya.Mpok Encun
memperhatikan Bang Topik dari atas sampai ke bawah.Lalu memberi
penilaian, “Bang…pake pecinya dong biar kelihatan gantengan dikit..”
Bang
Topik lagi-lagi ngambil jurus nurut.Dia masuk kamar,keluar lagi memakai
peci yang sudah rada kuning kecokelatan.Mpok Encun memberi komentar
lagi,”Aduuh..Bang..peci udah mateng pohon gitu masih aja
dipelihara.Emang nggak ada peci lain? Makanya kalau punya
duit jangan pake disayang-sayang.Sudah deh taruh lagi tuh peci. Kita
beli di sana saja nanti.”
Menjelang
lebaran kesibukan berputar tidak seperti biasanya. Agak cepat
iramanya.Bukan cuma ada orang yang sembahyangnya setahun sekali,tapi
juga ada yang beli pakaian setahun sekali.Makanya pengusaha pasar
swalayan pas menjelang bulan puasa,banyak muncul pasar swalayan,sampai
ke pelosok kampung.
Nah,di
kampungnya Mpok Encun juga baru saja diresmikan pasar swalayan
baru,mpok Encun menyebutnya,”toko betingkat.” Banyak orang-orang datang
cuma mau melihat-lihat saja,atau sekedar mejeng.
Mpok
Encun sampai di konter busana muslim,dia nyari peci buat Bang
Topik.”Coba bang sedengin nih.” Mpok Encun menyodorkan peci kepada Bang
Topik. Bang Topik dengan rada malas memakai peci itu. “ Nah, begitu kan
gagah kelihatannya.Sudah deh pakai aja jangan dicopot.”
“Mau digebukin satpam lu,” kata Bang Topik sewot.
“Memangnya kita nyolong,apa?”
“Dicatet dulu,dibayar di kasir,baru boleh dipake..”
“O…begitu peraturannya..”
Akhirnya
Bang Topik jadi repot kasih tahu cara-cara belanja di toko betingkat
itu.sambil tidak lupa jangan belanja yang tidak penting,tapi mana bisa
di tempat barang-barang yang bikin ngiler itu ngerem duit buat di
belanjain.
Sesampai
di rumah, pas bedug maghrib. Sambil berbuka puasa, mpok Encun
mengingat-ingat sesuatu.”Keperluan apa lagi yang belon ya Bang?”
tanyanya sambil nyocol kue putu mayang.
“Memangnya kenapa? Duit sudah habis?,”Tanya Bang Topik sambil masukin timun suri ke mulutnya.
“Ya,cukup buat beli ketupat,beli kembang,beli daging,sama kacang panjang.”
“Iya,habis lebaran kita bengong..”
“Kan nanti murid-murid abang lebaran pada dateng ngasih salam tempel.”
“Elu sih ngarepin yang nggak pasti.”
“Masih ada yang belon nih bang.Coba bantuin ingetin dong bang..” Mpok Encun garuk-garuk kepala nggak gatel.
“Sudah
ah gue mau wudhu,solat maghrib lebih penting daripada mikirin belanjaan
melulu.Jangan lupa sisain buat bayar zakat fitrah.” Bang Topik bangun
menuju kamar mandi.
“
Ya Allah ! Iye Bang.Aduh..gimana nih..bang..” Mpok Encun menepak
kepalanya sendiri.”Kalau bayar zakat,nggak ada buat beli ketupat..”
Selesai
wudhu,Bang Topik nyamperin Mpok Encun.”Begini aja..duit yang buat beli
ketupat,buat bayar zakat aja.Bayar zakat fitrah kan hukumnya wajib.
Lebaran nggak makan ketupat kan nggak berdosa.Lagian nanti juga kita
dapet kiriman ketupat dari tetangga.”
“ Ya malu dong bang.Pinjam duit ke mana kek bang…Aduh gimana nih..” Mpok Encun megangin jidatnya.
“Sudah deh gue mau sholat maghrib,elu juga cepetan ambil wudhu.Eh,ambilin peci gue di kamar.”
“Sudah ada peci yang baru,masih aja pake peci yang sudah kaya buah kesemek.”Walaupun sambil menggerutu,Mpok Encun ngambilin peci buat lakinya.
Bang
Topik tidak langsung memakai peci itu.Dia ngeluarin duit seratus ribuan
dan limapuluh ribuan dari selipan peci bututnya itu.Menyerahkan uang
itu kepada Mpok Encun ”Nih,jangan lu buat beli yang bukan-bukan.Buat
bayar zakat.Denger nggak lu? ”
Nampak
Mpok Encun masih penasaran.”Nah..abang ngumpetin duit di peci,sini aye
periksa,siapa tahu masih ada lagi..” Mpok Encun menyambar peci butut
itu,memeriksanya.Ternyata memang tidak ada sisa duit.
Sehabis
lebaran,Mpok Encun bengong di jendela.Persediaan duit sudah habis sama
sekali.”masi sih abang nggak pegang simpanan.Kemarin aye lihat murid
abang, si Jaelani genggemin amplop.”
“Lha kan gue udah kasih sama lu?”
“ Iya itu kan yang aye lihat,yang aye nggak lihat? Masa sih cuma si Jaelani saja yang ngasih?”
“Makanya gue bilang dulu apa? Jangan mentang-mentang lebaran,apa saja mau dibeli.Sekarang? Bengong lu..”
Tiba-tiba
Mpok Encun bangun seperti mainan yang baru diganti
batereinya.”Bang,mana peci Abang yang kaya buah kesemek?,” tanyanya
semangat.
“Gue sudah ceburin di empang Haji Kodir,” jawab Bang Topik sekenanya
“Mentang-mentang
sudah nggak puasa,mau bohong ya? Perasaan aye lihat,dimana ya?” Mpok
Encun mengingat-ingat sambil mijit-mijit keningnya.” Nah,iya.Waktu aye
beresin tempat tidur,perasaan aye ngelihat tuh peci.Di bawah kasur ! Ya,
di bawah kasur!”
Mpok
Encun cepat masuk kamar.Rupanya di kalah gesit sama bang Topik yang
sudah sampai di kamar duluan.Tangannya dimasukan ke bawah kasur,sambil
menggerutu,“Dasar perempuan,kalau yang namanya duit, di lobang semut
masih bisa dia endus.”
Bang
Topik melempar beberapa lembar uang ke atas kasur.” Nih,jangan
dihabis-habisin.Ingat,anak-anak kita sebentar lagi masuk sekolah.”
Mpok Encun mengambil uang itu,dia melihat masih ada duit di tangan Bang Topik.” Itu yang abang pegang duit buat apa?”
“ Besok gue mau ke rumah kong aji Asmawi.Masa gue dateng lenggang kangkung,harus genggemin lah…”
“Bener nih Bang nggak ada simpenan lagi?” Tanya Mpok Encun penasaran
“Kalau
nggak percaya lu panggil KPK buat periksa gue,sewot gue
lama-lama..”Bang topik Menggerutu sambil negloyor keluar kamar.Akhirnya
Bang Topik bisa marah juga sama Mpok Encun.Tentu saja Mpok Encun melotot
kaya orang kesurupan.Tapi begitu melihat duit di tangannya,melototnya
hilang,berganti senyuman.**
Langganan:
Postingan (Atom)