Cerita Santai: Balya Nur
Seharusnya keluarga Bang Kodir patut gembira. Bagaimana tidak? Anak perawan Bang Kodir satu-satunya yang bernama Mawarnih sebentar lagi mau dilamar oleh anak pengusaha bahan bangunan. Zakaria, namanya, sudah dua tahun pacaran sama anaknya Bang Kodir.
Seharusnya keluarga Bang Kodir patut gembira. Bagaimana tidak? Anak perawan Bang Kodir satu-satunya yang bernama Mawarnih sebentar lagi mau dilamar oleh anak pengusaha bahan bangunan. Zakaria, namanya, sudah dua tahun pacaran sama anaknya Bang Kodir.
Mawarnih memang di kampung itu dikenal sebagai kembang dari
segala kembang. Hidungnya mancung kaya ikan cucut. Kalau tersenyum pipinya
legok kaya ditusuk jarum. Rambutnya ikal mayang kaya kue putu bulan puasa. Pendeknya,
perjaka yang beruntung mendapat senyuman Mawarnih tidak bisa tidur tiga belas malam.
Orang-rang bilang, Mawarnih nurunin ibunya. Ibunya bininya
Bang Kodir, dulu juga termasuk kembang yang harumnya seantero kampung. Padahal
Bang Kodir termasuk perjaka biasa-biasa
saja. Ya….namanya jodoh walaupun 86 perjaka yang ganteng-ganteng antri deketin
ibunya Mawarnih, putus semua sama Bang Kodir. Dari beberapa sumber yang kurang
dapat dipercaya, Bang Kodir pakai ilmu pelet.
Sekarang kita kembali ke pokok persoalan. Kenapa keluarga Bang
Kodir blingsatan kaya kucing ketulangan? Mungkin pembaca menyangka Bang Kodir
kekurangan uang. Wah, kalau perkara uang, Bang Kodir sudah siap. Uang tabungan
yang ditabung di bubungan sudah sampai luber. Apa lagi anak perawannya yang
dilamar, jadi lebih ringan. Habis apa dong?
Bermula dari pembicaraan empat mata antara Zakaria dengan
ibunya Mawarnih. Saya kutip pembicaraan yang penting-penting saja.
“begini,
bu,” kata Zakaria sambil meremas-remas jarinya
“Sebelum
orang tua saya melamar, beliau akan mengutus tim pencari fakta. Ya…sekitar
dua-tiga orang.”
“Apa? Tim
pencari fakta? Memangnya keluarga saya bikin kerusuhan?” rupanya ibunya Mawanih
getol mendengarkan dunia dalam berita.
“Jangan
marah dulu, Bu. Orang tua saya memang rada-rada susah. Dia ingin tahu persis
seperti apa sih calon mantu dan besannya.”
“Memangnya
anak saya kenapa?”
“Bukan
begitu, Bu. Soalnya orang tua saya dengar dari orang-orang……..” Zakaria agak
ragu buat meneruskan kata-katanya.
“Zakaria,
kalau bicara itu yang bener. Jangan kaya orang demam begitu.” Ibunya Mawanih
tidak sabar melihat sikap calon mantunya.
“Begini.
Jangan marah, ya Bu?”
“Kalau nak
Zakaria terus-terusan begitu, Ibu bisa marah.”
“Maaf, Bu.
Habis persoalan ini rasanya berat buat diucapkan. Tapi saya nekad deh. Begini,
Bu. Orang-orang bilang, Bang Kodir kalau
buang air besar katanya di empang? Betul, Bu?”
Ibunya
Mawanih tidak dapat menahan ketawanya.
“Eh,
Zakaria. Bapaknya Mawanih memang kalau buang air besar di empang. Lalu apa
hubungannya dengan lamaran?”
“Seperti
saya bilang tadi, orang tua saya ini rada-rada susah. Sekarang ini kan sudah
bukan jamannya lagi orang buang air besar di empang. Apalagi menurut
orang-orang itu, dan saya sendiri juga tahu, di rumah ini kan ada WC-nya?”
“Memangnya selama
ini nak Zakaria tidak tahu kalau Bapaknya Mawanih buang air besar di empang?”
“Ya saya
tahu sih Bapak sering ke kempang. Tapi saya pikir paling-paling mau nge;ihat
ikan guramenya. Lagian buat apa saya menyelidiki sampai di situ. Kurang sopan.”
“Jadi tim
pencari fakta nanti akan menyelidiki Bapaknya Mawanih buang air besar?”
“begitulah,
Bu. Ah, saya jadi malu”
Setelah berunding, akhirnya Ibunya Mawanih ambil keputusan.
“Baiklah. Ibu akan coba-coba bilang sama Bang Kodir. Nanti Ibu cari saat yang tepat.”
Memang,
sejak Bang Kodir masih kecil dulu, dia selalu buang air besar di empang Bapaknya
yang sekarang diwariskan buat dia. Waktu itu memang di rumahnya belum ada WC.
Nah, setelah anaknya menuntut dibuatkan WC, kebiasaan bang Kodir tidak juga berubah.
Pernah istrinya minta agar Bang Kodir mencoba buang air besar di WC, tapi Bang
Kodir tidak bisa. “susah keluarnya,” katanya. Akhirnya istrinya memaklumi.
Jarak antara rumah Bang Kodir dan empang miliknya kira-kira dua ratus meter.
Setelah ditemukan saat yang dianggap tepat oleh ibunya
Mawanih, maka dia coba-coba bilang pada suaminya perihal permintaan calon
mantunya. Setelah mendengar penuturan dari istrinya, Bang Kodir lompat dari
tempat duduknya.
“Kurang ajar
bener tuh anak. Tapi……apa bener dia bilang begitu? Jangan-jangan….elu nih yang
ngarang-ngarang.”
“Ye….sumpah
deh,bang.”
“Begini saja
deh. Kalau nanti tim pencari fakta itu datang…..elu bilangin gue. Ude deh gue
‘nggak mau denger lagi tuh omongan. Enek perut gue dengernya.”
Singkat cerita, tim pencari fakta itu datang bersama Zakaria.
Bang Kodir datang menyambut.
“Apa kabar
nih?” Tanya Bang Kodir basa-basi.
“Baik-baik
saja, Bang.” Jawab mereka serempak.
“Temannya
Zakaria, ya?”
“Iya, Bang,”
“Ikut saya
sebentar, yuk,” ajak Bang Kodir.
“Kemana,
Bang?”
“Ayo,
deh…..”
Zakaria dan ketiga orang itu ikut Bang Kodir. Di kepala
mereka penuh dengan tanda tanya. Mau diajak kemana? Tibalah mereka di empang.
Lalu bang Kodir masuk ke kakus yang terbuat dari bambu dan seng.
“Nah,
katanya elu mau lihat gue buang air. Lihat deh situ biar puas,” kata Bang Kodir
sambil jongkok.
Tentu saja
keempat orang itu melongo. Tanpa dikomandoi lagi, keempatnya pergi satu-satu.
Saking malunya, salah seorang dari mereka hampir jatuh ke empang.
Sejak itu hubugan dua calon besan itu menjadi panas. Orang
tuanya Zakaria memutuskan untuk tidak jadi melamar Mawanih. Tentu saja yang
menjadi korban sepasang calon pengantin itu. Mawanih tidak mau makan. Mogok
makan istilahnya. Zakaria tidak mau keluar dari kamarnya.
Supaya cerita ini tidak berlarut-larut, dan kalau diceritakan
pertentangan kedua calon besan itu rasanya tidak cukup untuk halaman yang
terbatas ini. Lagipula menceritakan pertentangan bukan mustahil akan
menimbulkan pro dan kontra. Dan itu tidak baik buat stabilitas kampung.
Jadi kita
ambil gampangnya saja, seperti akhir cerita film nasional. Orang tua Zakaria
sadar atas kekeliruannya mencampuri urusan – maaf – pantat orang lain. Bang
Kodir juga sudah mulai latihan buang air di WC. Atas ketekunannya latihan,
akhirnya dia berhasil. Sekarang sudah bisa buang air besar di WC dalam
rumahnya. Jadi deh Zakaria dan Mawanih digambrengin. Tamat deh. Siiip kan?
Dimuat di
Tabloid IDOLA,13 Mei 1991