Cerita santai : Balya Nur
Semenjak bang Jamil jadi hansip di
kampung kami, kampung ini jadi aman tentram. Sampai hari ini bang Jamil sudah
lima kali nangkep maling, atas jasanya itu oleh pak RW dia diberi hadiah sepeda
BMX dan memang dengan hadiah itu bang Jamil jadi tambah rajin keliling.
Kata orang, dulunya bang Jamil ini
termasuk orang golongan hitam tapi sekeluarnya dari penjara Bang Jamil insaf
dan oleh Pak RW diangkat menjadi keamanan kampung kami. Harap maklum saya baru
beberapa bulan tinggal di kampung ini.
Tapi akhir-akhir ini bang
Jamil sering mengeluh kepada saya, bukan lantaran gajinya sering telat, tapi
bini mudanya (eh, jangan bilang siapa-siapa kalau bang Jamil punya bini dua)
menuntut dibelikan Televisi berwarna.
“ Mil, mat ague udah
sepet ngliat TV hitam putih, Beliin yang ada warnanya donk.. Kalu gak kontan, yak kredit kek. Bilang sana
sama Pak RW” begitu kata istrinya seperti yang dituturkan bang Jamil kepada
saya.
“Dia sangka, TV berwarna
itu murah, kan harganya berkali lipat
dari TV hitam putih,” umpat bang Jamil, saya cuma senyum saja, tak baik
mencapuri dapur orang.
Tapi dasar bang Jamil sayang sama
bini, ya… dia usaha juga. Hingga pada suatu malam ketika saya sedang ngobrol
dengan pak RW di pos jaga, Bang Jamil datang. Kali ini dia tidak pakai seragam
hansip. Perlu juga diketahui, Bang Jamil walaupun bukan giliran jaga, dia
selalu memakai pakain seragam.
“Tumben Mil ‘nggak pakai
seragam?” Tanya Pak RW, bang Jamil tidak langsung menjawab, dia duduk di depan
kami, mengerluarkan rokok dan menghisapnya.
“Eh, ada apa ini Mil. Kok murung
bener?” Tanya Pak RW lagi.
“Begini Pak RW”, Bang Jamil mulai
buka suara. Tapi kelihatannya agak ragu-ragu.
“Saya tadi habis ngelamar pekerjaan,
Pak”, lanjutnya pelan.
“Dimana?”
“DI pabrik tenun, katanya dia butuh
keamanan satu lagi.”
“lantas?”
“Itulah Pak, disana saya ditanyain
Ijazah segala, saya kan ‘nggak pernah punya Ijazah, SD aja cuman sampai kelas
empat.”
“Terus bagaimana?”
“Saya bilang Ijaza memang saya ‘nggak
punya, tapi kalau perkara ngamanin pabrik, bapak ‘nggak usah ragu-ragu lagi
deh. Kalau nggak percaya Tanya saja sama Pak RW saya.”
“terus apa jawabnya?”
“Kayanya sih dia ragu sama saya, Pak.
Dia ‘nggak percaya kalau saya bisa jadi keamanan.”
Memang Bang Jamil tidak
ada potongan jagoan. Badannya kecil, wajahnya pucat. Tapi kalau baru dikeroyok
tiga orang saja, jangan mimpi menang lawan dia.
“Waduh, bagaimana ya?” Pak RW menggaruk-garuk
janggutnya.
“Begini Pak, saya datang menghadap
Bapak, maksud saya mau minta Ijazah.”
Pak RW berhenti menggaruk-garuk,” Ah,
‘nggak salah ngomong Mil. Ijazah yang mana?”
“Maksud saya minta dibuatkan Ijazah.”
“Eh, Bang Jamil, Pak RW bukannya kepala
sekolah, mana bisa dia bikin Ijazah?” Saya jadi ikut-ikutan nimbrung. Soalnya
Pak RW masih bengong mendengar permintaan itu.
“Bukan Ijazah sekolahan, Pak. Tapi
Ijazah nangkep maling.”
Saya dan Pak RW kontan tertawa
bareng. Mana ada Ijazah nagkep maling?.
“Bang Jamil ini bercanda atau
serius?” Tanya saya sambil tertawa.
“serius, Pak. Kalau bisa sih
Ijazahnya yang tekan Pak Lurah. Pabrik itu kan berada didaerah kekuasaannya Pak
Lurah. Siapa tahu…. ?”
Setelah berfikir sejenak, akhirnya
Pak RW ambil keputusan, “Mungkin maksud Pak Jamil semacam piagam penghargaan,
ya?”
“iya kali Pak.”
”Baiklah, tapi saya ‘nggak janji, ya?
Besok saya akan kekantor kelurahan menghadap Lurah. Hasilnya nanti akan saya
kabarkan, ya… namanya juga usaha.”
“Aduh terima kasih Pak, terima kasih
nih sebelumnya. Saya permisi dulu Pak. Maklum dari tadi belum pulang. Permisi
Pak…,”
“Pulang kerumah yang mana Mil?” Tanya
Pak RW sambil senyum bercanda. Bang Jamil tertawa penuh arti. “ah, Bapak ini
kayak ‘nggak tahu saja. Permisi Pak..”
Saya dan Pak Rw menghadap
Pak Lurah. Pak Lurah menanggapi persoalan ini dengan serius. “Untuk warga yang
berbakti semacam Bang Jamil itu, Pak RW tidak perlu khawatir, akan saya bantu
sepenuhnya. Bukan hanya surat keterangan, atau piagam, besok dia akan saya antar
ke pabrik itu, kebetulan saya kenal baik dengan pemilik pabrik itu. Pokonya
Bang Jamil besok suruh menghadap saya. Maaf ya, saya ada rapat di Kecamatan
nih…”
“Wah…terimakasih pak. Saya bangga
sekali punya Bapak masyarakat seperti Bapak. Eh, ngomong-ngomong Bapak bakal
kena mutasi, ya? Siapa gantinya, Pak? Dari hasil bisik-bisik, para ketua RW
akan mempertahankan Bapak. Kami berencana akan membuat resolusi kepada Bapak
Camat.”
“Ah… itu kan urusan orang atas, kalau
saya sih sebagai pegawai negri, ditempatkan dimana saja ya… tidak masalah.
Sudah ya…… nanti saya ketinggalan rapat nih. Pak RW kan tahu sendiri Bapak
Camat kita yang baru ini disiplinnya ketat. Maklum, namanya juga baru….”
Besoknya saya, Pak RW dan
Bang Jamil datang ke kantor Kelurahan, dimulut gang ,kami berpapasan dengan Pak
Lurah yang sedang mengendarai mobilnya.
“Eh, kebetulan ayo naik,” ajak Pak
Lurah sambil membukakan pintu mobilnya. Setelah kami semua naik, Pak Lurah
bertanya, “ Bang Jamil melamar pekerjaan di pabrik tenun depan Pom bensin itu,
ya?”
“eh, iya Pak betul,” jawab Bang Jamil
hormat.
“Kebetulan kalau begitu, sekarang
kita semua ke pabrik itu.”
“Aduh….. terima kasih nih Pak, atas
segala bantuannya, saya jadi merepotkan Bapak.” Bang Jamil Nampak terharu atas
kebaikan hait Pak Lurah
“Tadi saya ditelpon, katanya pabrik
itu kebakaran. Makanya sekarang kita ramai-ramai lihat kesana.”
Saya lirik Bang Jamil
mukanya pucat. Kasihan betul dia, mungkin bagi pembaca, mendengar kalimat
terakhir Pak Lurah itu akan menertawakan Bang Jamil, atau paling tidak tersenyum.
Dan tadinya saya bermaksud akan mengakhiri cerita sampai disini. Tapi berhubung
menertawakan penderitaan orang lain itu tidak baik, maka cerita ini saya lanjutkan.
Sesampainya di pabrik
yang kebakaran itu, kami semua turun. Kami lihat disitu ada dua mobil pemadam
kebakaran dan Nampaknya api sudah dapat dikuasai. Hanya dua orang petugas
pemadam kebakaran sedang berusaha menyelamatkan seseorang yang terkurung api di
pabrik itu. Tanpa pikir panjang, Bang Jamil menerobos masuk ke dalam pabrik
itu, dan tidak lama kemudian dia keluar membawa orang naas itu bersama dua
orang petugas pemadam kebakaran.
Tidak lama kemudian, api
dapat dipadamkan. Hanya bagian belakang pabrik saja yang terbakar. Dan atas
usul Pak Lurah dan atas jasa Bang Jamil menyelamatkan karyawan pabrik yang naas
itu, dia diterima bekerja di pabrik tenun itu, tanpa ditanya lagi soal Ijazah.
Nah, untuk para pembaca, sekarang
sudah boleh tertawa sepuas-puasnya, ‘nggak dosa kok.,
Dimuat Tabloid IDOLA,5 Nopember 1990.