Oleh : Balya Nur
Tahun
1992,Lenong Rumpi menyelenggarakan Lenong Rumpi Award.Ini festival
lenong remaja yang pertama dan terakhir,bukan berarti tidak ada lagi
festival lenong,tapi yang dikemas mewah seperti layaknya Festival film
ini,Lenong Rumpi Award satu-satunya.Sebanyak 47 peserta tampil dalam
babak penyisihan di Bulungan,terpiilih 5 finalis,Sanggar Fajar
Ihya’88,Fajar Ibnu Sena,Hipta,Lenong Nusantara,dan Terminal
Kreatif.Rata-rata mereka bukan hanya aktif di teaer Lenong,tapi juga
teater modern yang pada waktu itu memang marak di lima wilayah Jakarta.
Saya
sebagai sutradara dan penulis naskah”Karim versus Karim” Sanggar Fajar
Ihya’88,yang Alhamdulillah menjadi juara I,dan juga pemian terbaik pria
atas nama Ita Saputra,menuliskan pengalaman saya selama proses latihan
sampai menjadi juara I yang memang proses yang saya lewati tidaklah
mudah.Tulisan ini pernah dimuat di mingguan Ibukota secara
bersambung,kemudian kali ini saya tulis ulang,siapa tahu bermanfaat bagi
generasi lenong berikut.Selamat menikmati.( Balya Nur)
|
Sanggar Fajar Ihya juara I. Foto: Tempo |
PROSES MENUJU JUARA LENONG RUMPI AWARD
1.
Bermula
dari acara berbuka puasa bersama keluarga besar Sanggar Fajar Ihya ’88.
Waktu itu, saya selaku pelatih teater modern di sanggar itu menawarkan
kepada wakil ketua sanggar untuk ikut lomba lenong yang diadakan di
Jakarta Flash Production, yang kemudian dikenal dengan Lenong Rumpi
Award. Waktu itu dia bertanya “Apakah kita akan yakin menang?”. Saya
menggelengkan kepala. Memang saya tidak bisa janji yang muluk-muluk.
Pertama, lomba semacam itu baru kali ini diadakan. Kedua, saya belum
tahu peta kekuatan lawan. Ketiga, baru pertama kali ini saya
menyutradarai lenong.
Untungnya
saya dihadapkan pada para pemain lenong yang berbakat. Ditambah lagi
beberapa diantara mereka pernah mengikuti program latihan teater modern.
Untuk
di tingkat babak penyisihan, kami cuma latihan kurang dari satu minggu.
Hal itu disebabkan bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Kami
membawakan cerita “Karim Versus Karim” yang semula saya persiapkan untuk
diajukan ke TPI oleh pengurus sanggar. Dalam penggarapannya, saya tidak
memakai konsep macam-macam karena keterbatasan waktu laihan. Jadi kami
memakai metode konvensional saja.
Keberhasilan
masuk final Lenong Rumpi Award, membuka kami putar otak untuk
memenangkan “perang.” Jadwal latihan disusun seketat mungkin. Disepakati
latihan setiap hari. Mulai pukul 13.00 sampai dengan pukul 21.00.
Dengan jadwal latihan itu, dengan perasaan berat, saya menerima
kenyataan dua orang pemain kami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Hal
itu menambah tekad saya untuk berbuat semaksimal mungkin. Bekerja
habis-habisan untuk meraih Award.
Tiga
jam pertama, kami pergunakan untuk mendiskusikan beberapa jenis teater
tradisional Betawi. Seperti, Lenong, Topeng Betawi, Topeng Si Jantuk,
Jipeng, Jinong, Blantek, juga berbagai jenis kesenian Betawi lain yang
kami dapatkan dari buku petunjuk tentang kesenian Betawi dari Proyek
Konservasi Kesenian Tradisional Betawi, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta,
dan juga dari beberapa kliping surat kabar yang memang sudah lama saya
dokumentasikan. Walaupun kami semua orang Betawi, tapi kami masih merasa
perlu mempelajari kebiasaan kehidupan sehari-hari orang Betawi tempo
Doeloe. Salah satunya yang nampak dalam pertunjukan kami adalah dengan
digunakannya kipas bambu yang dibungkus dengan kain yang digunakan oleh
Karim Duda.
Empat
jam selebihnya, hal tersebut diatas kami coba praktekan dalam “Karim
Versus Karim” yang telah saya adakan perombakan besar dari apa yang kami
tampilkan dalam babak penyisihan. Setelah kami mendapatkan model yang
kami anggap cocok dari berbagai jenis teater tradisional Betawi itu,
kami mulai memodifikasi sesuai tuntutan naskah.
Saat
latihan seperti itu memang saat yang sangat berat bagi kami. Untungnya
walau dalam keterbatasan dana, pengurus sanggar mensuplai konsumsi
selama latihan digedung Sasana Krida Ulujami, Jakarta Selatan.
Untuk
menyemangati para pemain, saya cuma menjanjikan, jika kita nanti
berhasil memenangkan “perang” berarti jalan untuk kemasa depan akan
terbuka lebar. Saya umpamakan sebagai transmigran yang dengan tekun
membuka lahan perkebunan.
Bagi
saya pribadi, latihan menjadi 24 jam dalam sehari. Sepulang dari tempat
latihan, sukar sekali rasanya untuk beristrirahat. Tekad “berani mati”
para pemain selalu mengganggu pikiran saya. Sehingga mendorong saya
untuk berbuat lebih banyak lagi.
Dirumah,
saya mengevaluasikan hasi latihan. Untuk merasuk kedalam alam “lenong”
saya sering memutar kaset Topeng Si Jantuk , dan lagu-lagu Betawi. Saya
tidak lagi menikmati acara televisi. Sebelum berangkat latihan, saya
membuat rencana-rencana untuk diterapkan dalam latihan.
Tiga hari menjelang malam final, saya belum menemukan nuansa untuk saya terapkan dalam
adegan romantis antara kedua anak Karim. Tadinya saya ingin memasukkan
lagu “ngleolo” yang biasanya dinyanyikan dalam Topeng Si Jantuk, tapi
saya kesukaran mencari penyanyi wanita yang pas. Saya selalu teringat
romentisme ala India. Hari-hari saya, saya lalui dengan lagu-lagu India.
Akhirnya ketemu juga. Intro lagu dari salah satu lagu film “La Waris”
menyentuh hati saya tepat pada saat saya sedang mengetik dialog “resmi”
adegan percintaan itu. Walaupun pada akhirnya saya kecewa karena pada
malam final, mikerofonnya tidak full sehingga lagunya terdengar agak
samar. Tinggal satu lagi yang mengganggu pikiran saya, yaitu untuk
adegan penutup. Untunglah, satu hari menjelang malam final, adegan yang merisaukan itu menginap di tempurung kepala saya saat saya sedang……mencuci sepatu!
Kembali
ke suasana latihan. Saya tidak ingin para pemain menjadi lelah baik
fisik maupun mental. Karena itu sangat mengganggu kreativitas mereka.
Kalau saya melihat mereka sudah agak lelah, saya hentikan latihan. Saya
ajak mereka bercanda. Nah dalam bercanda itulah kadang-kadang saya
menemukan hal yang saya anggap lucu untuk kemudian saya terapkan dalam
naskah.
Untungnya,
seperti saya katakana dari awal tadi, saya bekerja dengan para pemain
yang sangat berbakat. Mereka sering memberikan tawaran/inspirasi bagi
saya. Saat proses latihan, walaupun otak saya bercerai-berai menjadi
Sembilan (Delapan untuk pemain, dan satu untuk konsep musik) tidak
menjadikan saya kehilangan akal.
Menjelang
pertunjukan kami di malam final merupakan persoalan tersendiri.
Terlebih kami tampil diurutan paling akhir. Dari jadwal yang tertera
sekitar pukul sebelas malam, walau pada akhirnya menjadi melar satu jam.
Maka sejak pagi saya minta kepada pengurus sanggar untuk tidak
mengganggu para pemain untuk urusan diluar tugasnya. Para pemain harus cukup beristirahat. Dan seksi konsumen dan seksi perlengkapan bekerja ekstra keras untuk melayani para pemain.
2.
Satu
persatu grup finalis mulai tampil mempertontonkan kebolehannya. Secara
umum, mereka memang tidak mengecewakan sebagai finalis. Walaupun saya
lihat ada beberapa kelemahan mereka. Kelemahan para finalis itulah yang
saya “suntikan” kepada para pemain. Karena terus terang saja, ada
beberapa pemain kami yang “terpukul” mentalnya melihat pertunjukan Fajar
Ibnu Sena, Terminal Kreatif, dan Lenong Nusantara. Kepercayaan diri
sebagian pemain agak sedikit goyah.
Lalu
para pemain saya kumpulkan. Saya ceritakan tentang pertunjukan Fajar
Ibnu Sena. Pertunjukan mereka memang Nampak menarik dan mulus. Tapi
kadang-kadang tersendat-sendat. Mereka nampak sangat tegang dan terlalu
berhati-hati, ditambah lagi tidak adanya bumbu humor. Untuk itu saya
minta kepada para pemain untuk bermain rileks. Karena dengan rileks itu
akan muncul improvisasi/spontanitas segar. Dan tentang pertunjukan
Terminal Kreatif, memang mereka berhasil mengocok habis perut para
penonton, tapi mereka bermain tanpa “pola”, tanpa “pakem”. Untuk itu
saya minta kepada para pemain agar bermain sesuai garis yang telah
ditetapkan selama latihan.
Tentang
Lenong Nusantara, saya melihat sutradaranya yang sekaligus bermain
nampak kali ingin lebih menonjol dari pemain lainnya sehingga nampak
asyik bermain sendiri. Untuk itu saya minta kepada para pemain terutama
Mian (B. Hermanto) untuk dapat mengendalikan diri.
Kepada
B. Hermanto memang secara khusus saya minta agar berbesar hati.
Walaupun sebenarnya dia pemain yang cukup berpengalaman, tapi dia tidak
saya jagokan/calonkan untuk menjadi pemain terbaik, oleh sebab beberapa alasan vital.
Dalam
babak pertama, adegan pertengkaran antara Karim Kumis (Ita Saputra) dan
Karim Duda (M. Soleh Tado) saya tekankan agar keduanya hafal teks.
Tidak boleh lebih tidak boleh kurang. Hal itu untuk menjaga irama
pertunjukan secara keseluruhan. Untuk babak kedua dan ketiga saya
perbolehkan para pemain berimprovisasi/spontanitas. Berhubung saya tahu
kalau pemain lenong sudah “syur” dalam improvisasi, mereka kadang-kadang
keluar dari naskah. Untuk itulah saya tugaskan B. Hermanto untuk
menjaga agar pemain tetap berjalan pada relnya saat “syur” berlangsung.
Akhirnya
dia memang menjalankan tugasnya dengan baik. Ada beberapa kali
permainan hampir keluar dari rel, dengan cekatan dia giring masuk ke
dalam rel. dan satu kenyataan, Ita Saputra yang memang malam itu bermain
sangat bagus, baik hafalan teks, maupun imporovisasi, keluar sebagai
actor terbaik.
Memang
secara diam-diam, dialah yang saya jagokan untuk merebut actor terbaik.
Ditambah dia memang sudah sejak tahun 1969 ikut main lenong keliling,
dan sekarang dia menjadi pencerita “Sohibul Hikayat” di berbagai tempat dan sempat satu kali masuk dapur rekaman.
Semula
saya duga Hipta akan bermain sangat bagus seperti pada babak
penyisihan. Dengan demikian, jika nanti pementasan kami berada di bawah
kwalitas Hipta, bukan mustahil akan dicemoohkan penonton. Maka saya
minta kepada para pemain untuk siap menghadapi segala kemungkinkan.
Satu-satunya pilihan adalah: Bermain habis-habisan!.
Tapi
sungguh diluar dugaan saya. Entah ada apa dengan rekan-rekan saya dari
Bulungan iu. Malam itu Hipta bermain sangat lamban. Improvisasinya
kendor sehingga membuat peluang penonton berteriak dan sebagian
meninggalkan gedung pertunjukan.
Melihat
situasi seperti itu, giliran saya yang “terpukul”. Hipta mengakhiri
pementasannya diiringi dengan kejengkelan penonton. Saya mulai
menganalisa dan mengukur sikap penonton yang sedang jengkel itu. Jika
saja pada gebrakkan pertama kami nanti tidak bisa merebut hati penonton,
bukan mustahil akan hancurlah seluruh pementasan kami. Cuma ada satu
pilihan: Mengikat penonton pada gebrakan pertama atau gagal sekalian!
Ketika
saya sedang mempersiapkan set dekor, dan Robby Tumewu sedang
menjelaskan tentang sanggar kami, para penonton berteriak tidak sabar.
Dan itu cukup membuat lutut saya gemetar. Para pemain tidak tahu keadaan
itu. Mereka sudah siap dibalik layar.
3.
Di
depan pintu masuk Puri Agung Sahid Jaya Hotel, saya dicegat oleh
wartawan sebuah harian sore Ibukota. Dia minta waktu untuk mewawancarai
saya.
“Mengapa tidak nanti saja setelah pengumuman pemenang?” Tanya saya
“Saya yakin grup anda akan keluar sebagai juara I.” jawabnya
“Mengapa Anda begitu yakin?” Tanya saya lagi. Dalam hati saya bangga mendapat dukungan moral seperti itu.
“Anda belum baca Koran saya sore ini?” tanyanya. Saya menggelengkan kepala, tidak mengerti.
Belakangan
setelah selesai wawancara, dia menghadiahkan koran yang dia maksud
tadi. Dihalaman tengah, saya membaca judul yang membuat hati saya agak
sedikit lega. Cerita “Karim Versus Karim Berpeluang Menjadi Juara”
Saya
berikan koran itu kepada teman-teman saya yang telah menyelesaikan
santap malamnya. Saya sendiri –oleh sebab wawancara itu – tidak sempat
mencicipi lezatnya santap malam ala Sahid Jaya Hotel. Tak apalah. Berita
dikoran sore itu cukup membuat perut saya kenyang.
Tapi
walaupun begitu, tetap saja pengumuman para pemenang Lenong Rumpi Award
yang sangat megah bagai pengumuman piala oscar itu membuat jantung saya
berdetak lebih cepat dari biasanya.
Saya menghayal, akan sangat bangga sekali jika apa yang ditulis koran sore itu menjadi kenyataan.
Dan…….Alhamdulillah!
perjuangan yang sangat berat selama dua minggu malam itu membuahkan
hasil yang setimpal. Bayangkan saja, kami menjadi juara I dari lomba
yang baru pertama kali ini diselenggarakan. Satu persatu teman saya
menyalami dan memeluk saya. Juga salam dari rekan-rekan sesama finalis.
Koordinator/Wakil
Ketua Sanggar Fajar Ihya ’88 yang memang sejak awal ingin sekali naik
keatas pentas menerima piala lambang permasi lenong itu dengan langkah
enteng naik pentas diiringi dengan lampu blitz camera wartawan.
Dalam
perjalanan pulang, saya membayangkan tentu Ketua Sanggar Fajar Ihya ’88
yang sedang kurang sehat akan sedikit dapat terobati dengan “hadiah”
piala ini. Senyum dan tawa di wajah teman-teman saya tidak pernah surut.
Memang hal itu sangat wajar mengingat perjuangan kami yang sangat berat selama dua minggu.