Encang,encing,nyak,babe,ponakan,misanan,semue,Assalamulaikum wr wb

Tulisan ane di blog ini emang nggak semua baru,tapi juga nggak basi,karena peristiwa sekarang kan pengulangan dari peristiwa
tempo dulu.Seneng,marah,sedih kan sama aja.
balyanurmd@yahoo.co.id

http://balyanurmd.wordpress.com

Minggu, 22 Oktober 2017

Ternyata Dialek Betawi Sarat Makna Keberagaman!



Kalau ada kalimat berikut, "Beliin ane bendera kayak itu dong di mal, harganya direken ceban", apa yang timbul di benak ada? Tidak mengerti atau mengertikah? Bingungkah? Atau ada pendapat lain?
Kalimat seperti itu sering diucapkan orang. Tidak ada yang aneh. Kalau unik, iya pasti. Kita rinci garis besarnya, akhiran in mengandung unsur Bali, ane (saya, dari Arab), bendera (Portugis), mal (mall, dari Inggris), reken (hitung, asal Belanda), dan ceban (Rp10.000, diadopsi dari Tionghoa). Pengaruh dari berbagai etnis atau bangsa terdapat dalam satu kalimat.

Jelas sangat unik. Mungkin tidak ada satu pun bahasa di dunia yang begini. Ini hanya ada di Jakarta dalam dialek Betawi. Namun masyarakat  yang membacanya, khususnya warga Jakarta umumnya mengerti makna kalimat tadi.

Ada lagi contoh singkat. Kita kan sering kali menulis di ponsel, "Ntar gw sms yah". Gw kependekan dari gua yang berarti saya. Tahu dari manakah asal kata gua? Dialek ini berasal dari Hokkian, salah satu suku di Tiongkok. Lalu sms? Itu singkatan short message service atau layanan pesan singkat dari Bahasa Inggris.

Pengaruh berbagai bahasa lokal dan bahasa asing dalam satu kalimat (Dokpri)
Sungguh enak dibaca kalau kata-kata asing itu bercampur dengan kata-kata lokal. Itulah yang namanya kebudayaan, selalu mempengaruhi kebudayaan lain. Kalau kita lihat berbagai kamus Bahasa Indonesia, memang terdapat banyak entry yang berasal dari kosa kata daerah atau asing. Lumrah saja, karena banyak warga asing pernah datang bahkan tinggal lama sampai menetap di Nusantara. Wajar pula kalau bangsa-bangsa Nusantara pernah menyeberangi lautan luas berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain.

Beberapa kata dari negera kita pun diserap oleh sejumlah negara. Coba cari di kamus-kamus bahasa asing, persamaan kata orang hutan dan bambu. Apa yang diperoleh, tentu orangutan dan bamboo. Memang dengan sedikit perubahan cara baca, tapi maknanya tetap sama.

Kalau kita anggap kata-kata asing yang digunakan dalam dialek sehari-hari adalah etnis tertentu, maka kalimat tersebut adalah Indonesia. Yah, Indonesia bersatu karena adanya multikultural atau keberagaman. Kalimat menjadi enak dibaca. Indonesia menjadi bersatu karena kerukunan.

Dialek Betawi
Di luar Bahasa Indonesia, tentu saja yang formal, Bahasa Indonesia dialek Jakarta (Betawi) banyak sekali pendukungnya. Jangan heran karena Jakarta merupakan ibu kota negara. Sejak bertahun-tahun lalu banyak pendatang mengadu nasib di sini. Ketika pulang ke kampung, para pendatang itu membawa bahasa sehari-hari di Jakarta.

Sampai kini masyarakat Betawi masih tetap memperlihatkan aneka unsur yang berasal dari suku dan bangsa yang berbeda. Dalam upacara, misalnya, masih menyulut petasan yang berasal dari tradisi Tionghoa. Begitu pula dalam berpakaian lewat kebaya encim dan baju koko. Sebutan babe (dari kata babah) dan engkong diambil dari dialek Hokkian. Ini hanya contoh kecil.

Semoga seluruh elemen warga, terutama di Jakarta, bersatu membangun kota yang masih macet dan dilanda banjir ini. Kita harus bersatu seperti kata-kata tadi, sehingga membentuk kalimat yang enak didengar atau menjadi sebuah kekuatan bagi persatuan Jakarta kelak.

Selasa, 10 September 2013

Segepok Puisi Balya Nur


MATI KETAWA CARA JARKASIH
Jarkasih menemukan buku humor
di pinggir jalan
Jarkasih membaca sambil jalan
Sambil ketawa

Tiba-tiba motor datang menerjang
Nyawanya kontan melayang
Anak-anak mengejar
Disangkanya layang-layang
Temanku bilang,
Jarkasih korban humor
Ah, itu kan bisa-bisanya dia saja.

SEPIRING PUISI
Sejak mesin tikku tak ada lagi
Aku tak bisa lagi menulis puisi
Tentu kau bertanya.
Mengapa mesin tik tak ada lagi ?
Telah kutukar dengan sekarung nasi !
Kini aku ingin menulis puisi
Dengan lima jari
Tapi aku khawatir
Jariku akan tergadai lagi

LAGU BOGEM MENTAH
Tekotekkotek……………
Anak ayam turun sebelas
Mati sebelas tinggal induknya.
Keok ! Keok ! Kek…………
Induk ayam mati tercekik
Mati ayam tinggal malingnya
Ampun ! Ampun ! Am……
Maling ayam mati dihakimi massa
Maling mati tinggal massanya
Pakketiplakketiplung !
Masa lari dikejar hakim
Massa hilang tinggal hakimnya
Tok !
Hakim pulang
tinggal palunya.

ETIKA
Demi etika
Dan rasa hormat terhadap orang tua
Maka:
Lagu burung kakak tua
Dirubah syairnya
Menjadi seperti di bawah ini:
“Burung kakak tua
Menclok di jendela
Nenek sudah tua
Giginya utuh semua”
Dan seterusnya

MAU BIKIN SEGEPOK
Mau bikin puisi segepok
Takut kena gaplok
Cukuplah semangkok
Tambah pisang segepok
Jangan sambil merokok
Mau pulang ke Depok
Malah belok
Rumahku memang bukan di Depok
Makanya kalau nyetir jangan sambil mabok
(silakan lanjutkan…)

MENGENANG 20 TAHUN LENONG RUMPI AWARD

Oleh : Balya Nur

Tahun 1992,Lenong Rumpi menyelenggarakan Lenong Rumpi Award.Ini festival lenong remaja yang pertama dan terakhir,bukan berarti tidak ada lagi festival lenong,tapi yang dikemas mewah seperti layaknya Festival film ini,Lenong Rumpi Award satu-satunya.Sebanyak 47 peserta tampil dalam babak penyisihan di Bulungan,terpiilih 5 finalis,Sanggar Fajar Ihya’88,Fajar Ibnu Sena,Hipta,Lenong Nusantara,dan Terminal Kreatif.Rata-rata mereka bukan hanya aktif di teaer Lenong,tapi juga teater modern yang pada waktu itu memang marak di lima wilayah Jakarta.

Saya sebagai sutradara dan penulis naskah”Karim versus Karim” Sanggar Fajar Ihya’88,yang Alhamdulillah menjadi juara I,dan juga pemian terbaik pria atas nama Ita Saputra,menuliskan pengalaman saya selama proses latihan sampai menjadi juara I yang memang proses yang saya lewati tidaklah mudah.Tulisan ini pernah dimuat di mingguan Ibukota secara bersambung,kemudian kali ini saya tulis ulang,siapa tahu bermanfaat bagi generasi lenong berikut.Selamat menikmati.( Balya Nur)
Sanggar Fajar Ihya juara I. Foto: Tempo

PROSES MENUJU JUARA LENONG RUMPI AWARD
1.
Bermula dari acara berbuka puasa bersama keluarga besar Sanggar Fajar Ihya ’88. Waktu itu, saya selaku pelatih teater modern di sanggar itu menawarkan kepada wakil ketua sanggar untuk ikut lomba lenong yang diadakan di Jakarta Flash Production, yang kemudian dikenal dengan Lenong Rumpi Award. Waktu itu dia bertanya “Apakah kita akan yakin menang?”. Saya menggelengkan kepala. Memang saya tidak bisa janji yang muluk-muluk. Pertama, lomba semacam itu baru kali ini diadakan. Kedua, saya belum tahu peta kekuatan lawan. Ketiga, baru pertama kali ini saya menyutradarai lenong.

Untungnya saya dihadapkan pada para pemain lenong yang berbakat. Ditambah lagi beberapa diantara mereka pernah mengikuti program latihan teater modern.
Untuk di tingkat babak penyisihan, kami cuma latihan kurang dari satu minggu. Hal itu disebabkan bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Kami membawakan cerita “Karim Versus Karim” yang semula saya persiapkan untuk diajukan ke TPI oleh pengurus sanggar. Dalam penggarapannya, saya tidak memakai konsep macam-macam karena keterbatasan waktu laihan. Jadi kami memakai metode konvensional saja.

Keberhasilan masuk final Lenong Rumpi Award, membuka kami putar otak untuk memenangkan “perang.” Jadwal latihan disusun seketat mungkin. Disepakati latihan setiap hari. Mulai pukul 13.00 sampai dengan pukul 21.00. Dengan jadwal latihan itu, dengan perasaan berat, saya menerima kenyataan dua orang pemain kami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Hal itu menambah tekad saya untuk berbuat semaksimal mungkin. Bekerja habis-habisan untuk meraih Award.

Tiga jam pertama, kami pergunakan untuk mendiskusikan beberapa jenis teater tradisional Betawi. Seperti, Lenong, Topeng Betawi, Topeng Si Jantuk, Jipeng, Jinong, Blantek, juga berbagai jenis kesenian Betawi lain yang kami dapatkan dari buku petunjuk tentang kesenian Betawi dari Proyek Konservasi Kesenian Tradisional Betawi, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, dan juga dari beberapa kliping surat kabar yang memang sudah lama saya dokumentasikan. Walaupun kami semua orang Betawi, tapi kami masih merasa perlu mempelajari kebiasaan kehidupan sehari-hari orang Betawi tempo Doeloe. Salah satunya yang nampak dalam pertunjukan kami adalah dengan digunakannya kipas bambu yang dibungkus dengan kain yang digunakan oleh Karim Duda.

Empat jam selebihnya, hal tersebut diatas kami coba praktekan dalam “Karim Versus Karim” yang telah saya adakan perombakan besar dari apa yang kami tampilkan dalam babak penyisihan. Setelah kami mendapatkan model yang kami anggap cocok dari berbagai jenis teater tradisional Betawi itu, kami mulai memodifikasi sesuai tuntutan naskah.

Saat latihan seperti itu memang saat yang sangat berat bagi kami. Untungnya walau dalam keterbatasan dana, pengurus sanggar mensuplai konsumsi selama latihan digedung Sasana Krida Ulujami, Jakarta Selatan.

Untuk menyemangati para pemain, saya cuma menjanjikan, jika kita nanti berhasil memenangkan “perang” berarti jalan untuk kemasa depan akan terbuka lebar. Saya umpamakan sebagai transmigran yang dengan tekun membuka lahan perkebunan.
Bagi saya pribadi, latihan menjadi 24 jam dalam sehari. Sepulang dari tempat latihan, sukar sekali rasanya untuk beristrirahat. Tekad “berani mati” para pemain selalu mengganggu pikiran saya. Sehingga mendorong saya untuk berbuat lebih banyak lagi.
Dirumah, saya mengevaluasikan hasi latihan. Untuk merasuk kedalam alam “lenong” saya sering memutar kaset Topeng Si Jantuk , dan lagu-lagu Betawi. Saya tidak lagi menikmati acara televisi. Sebelum berangkat latihan, saya membuat rencana-rencana untuk diterapkan dalam latihan.

Tiga hari menjelang malam final, saya belum menemukan nuansa untuk saya terapkan dalam adegan romantis antara kedua anak Karim. Tadinya saya ingin memasukkan lagu “ngleolo” yang biasanya dinyanyikan dalam Topeng Si Jantuk, tapi saya kesukaran mencari penyanyi wanita yang pas. Saya selalu teringat romentisme ala India. Hari-hari saya, saya lalui dengan lagu-lagu India. Akhirnya ketemu juga. Intro lagu dari salah satu lagu film “La Waris” menyentuh hati saya tepat pada saat saya sedang mengetik dialog “resmi” adegan percintaan itu. Walaupun pada akhirnya saya kecewa karena pada malam final, mikerofonnya tidak full sehingga lagunya terdengar agak samar. Tinggal satu lagi yang mengganggu pikiran saya, yaitu untuk adegan penutup. Untunglah, satu hari menjelang malam final, adegan yang merisaukan itu menginap di tempurung kepala saya saat saya sedang……mencuci sepatu!
Kembali ke suasana latihan. Saya tidak ingin para pemain menjadi lelah baik fisik maupun mental. Karena itu sangat mengganggu kreativitas mereka. Kalau saya melihat mereka sudah agak lelah, saya hentikan latihan. Saya ajak mereka bercanda. Nah dalam bercanda itulah kadang-kadang saya menemukan hal yang saya anggap lucu untuk kemudian saya terapkan dalam naskah.

Untungnya, seperti saya katakana dari awal tadi, saya bekerja dengan para pemain yang sangat berbakat. Mereka sering memberikan tawaran/inspirasi bagi saya. Saat proses latihan, walaupun otak saya bercerai-berai menjadi Sembilan (Delapan untuk pemain, dan satu untuk konsep musik) tidak menjadikan saya kehilangan akal.
Menjelang pertunjukan kami di malam final merupakan persoalan tersendiri. Terlebih kami tampil diurutan paling akhir. Dari jadwal yang tertera sekitar pukul sebelas malam, walau pada akhirnya menjadi melar satu jam. Maka sejak pagi saya minta kepada pengurus sanggar untuk tidak mengganggu para pemain untuk urusan diluar tugasnya. Para pemain harus cukup beristirahat. Dan seksi konsumen dan seksi perlengkapan bekerja ekstra keras untuk melayani para pemain.
2.
Satu persatu grup finalis mulai tampil mempertontonkan kebolehannya. Secara umum, mereka memang tidak mengecewakan sebagai finalis. Walaupun saya lihat ada beberapa kelemahan mereka. Kelemahan para finalis itulah yang saya “suntikan” kepada para pemain. Karena terus terang saja, ada beberapa pemain kami yang “terpukul” mentalnya melihat pertunjukan Fajar Ibnu Sena, Terminal Kreatif, dan Lenong Nusantara. Kepercayaan diri sebagian pemain agak sedikit goyah.
Lalu para pemain saya kumpulkan. Saya ceritakan tentang pertunjukan Fajar Ibnu Sena. Pertunjukan mereka memang Nampak menarik dan mulus. Tapi kadang-kadang tersendat-sendat. Mereka nampak sangat tegang dan terlalu berhati-hati, ditambah lagi tidak adanya bumbu humor. Untuk itu saya minta kepada para pemain untuk bermain rileks. Karena dengan rileks itu akan muncul improvisasi/spontanitas segar. Dan tentang pertunjukan Terminal Kreatif, memang mereka berhasil mengocok habis perut para penonton, tapi mereka bermain tanpa “pola”, tanpa “pakem”. Untuk itu saya minta kepada para pemain agar bermain sesuai garis yang telah ditetapkan selama latihan.

Tentang Lenong Nusantara, saya melihat sutradaranya yang sekaligus bermain nampak kali ingin lebih menonjol dari pemain lainnya sehingga nampak asyik bermain sendiri. Untuk itu saya minta kepada para pemain terutama Mian (B. Hermanto) untuk dapat mengendalikan diri.

Kepada B. Hermanto memang secara khusus saya minta agar berbesar hati. Walaupun sebenarnya dia pemain yang cukup berpengalaman, tapi dia tidak saya jagokan/calonkan untuk menjadi pemain terbaik, oleh sebab beberapa alasan vital.
Dalam babak pertama, adegan pertengkaran antara Karim Kumis (Ita Saputra) dan Karim Duda (M. Soleh Tado) saya tekankan agar keduanya hafal teks. Tidak boleh lebih tidak boleh kurang. Hal itu untuk menjaga irama pertunjukan secara keseluruhan. Untuk babak kedua dan ketiga saya perbolehkan para pemain berimprovisasi/spontanitas. Berhubung saya tahu kalau pemain lenong sudah “syur” dalam improvisasi, mereka kadang-kadang keluar dari naskah. Untuk itulah saya tugaskan B. Hermanto untuk menjaga agar pemain tetap berjalan pada relnya saat “syur” berlangsung.

Akhirnya dia memang menjalankan tugasnya dengan baik. Ada beberapa kali permainan hampir keluar dari rel, dengan cekatan dia giring masuk ke dalam rel. dan satu kenyataan, Ita Saputra yang memang malam itu bermain sangat bagus, baik hafalan teks, maupun imporovisasi, keluar sebagai actor terbaik.
Memang secara diam-diam, dialah yang saya jagokan untuk merebut actor terbaik. Ditambah dia memang sudah sejak tahun 1969 ikut main lenong keliling, dan sekarang dia menjadi pencerita “Sohibul Hikayat” di berbagai tempat dan sempat satu kali masuk dapur rekaman.

Semula saya duga Hipta akan bermain sangat bagus seperti pada babak penyisihan. Dengan demikian, jika nanti pementasan kami berada di bawah kwalitas Hipta, bukan mustahil akan dicemoohkan penonton. Maka saya minta kepada para pemain untuk siap menghadapi segala kemungkinkan. Satu-satunya pilihan adalah: Bermain habis-habisan!.

Tapi sungguh diluar dugaan saya. Entah ada apa dengan rekan-rekan saya dari Bulungan iu. Malam itu Hipta bermain sangat lamban. Improvisasinya kendor sehingga membuat peluang penonton berteriak dan sebagian meninggalkan gedung pertunjukan.
Melihat situasi seperti itu, giliran saya yang “terpukul”. Hipta mengakhiri pementasannya diiringi dengan kejengkelan penonton. Saya mulai menganalisa dan mengukur sikap penonton yang sedang jengkel itu. Jika saja pada gebrakkan pertama kami nanti tidak bisa merebut hati penonton, bukan mustahil akan hancurlah seluruh pementasan kami. Cuma ada satu pilihan: Mengikat penonton pada gebrakan pertama atau gagal sekalian!
Ketika saya sedang mempersiapkan set dekor, dan Robby Tumewu sedang menjelaskan tentang sanggar kami, para penonton berteriak tidak sabar. Dan itu cukup membuat lutut saya gemetar. Para pemain tidak tahu keadaan itu. Mereka sudah siap dibalik layar.

3.
Di depan pintu masuk Puri Agung Sahid Jaya Hotel, saya dicegat oleh wartawan sebuah harian sore Ibukota. Dia minta waktu untuk mewawancarai saya.
“Mengapa tidak nanti saja setelah pengumuman pemenang?” Tanya saya
“Saya yakin grup anda akan keluar sebagai juara I.” jawabnya
“Mengapa Anda begitu yakin?” Tanya saya lagi. Dalam hati saya bangga mendapat dukungan moral seperti itu.
“Anda belum baca Koran saya sore ini?” tanyanya. Saya menggelengkan kepala, tidak mengerti.

Belakangan setelah selesai wawancara, dia menghadiahkan koran yang dia maksud tadi. Dihalaman tengah, saya membaca judul yang membuat hati saya agak sedikit lega. Cerita “Karim Versus Karim Berpeluang Menjadi Juara”
Saya berikan koran itu kepada teman-teman saya yang telah menyelesaikan santap malamnya. Saya sendiri –oleh sebab wawancara itu – tidak sempat mencicipi lezatnya santap malam ala Sahid Jaya Hotel. Tak apalah. Berita dikoran sore itu cukup membuat perut saya kenyang.

Tapi walaupun begitu, tetap saja pengumuman para pemenang Lenong Rumpi Award yang sangat megah bagai pengumuman piala oscar itu membuat jantung saya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Saya menghayal, akan sangat bangga sekali jika apa yang ditulis koran sore itu menjadi kenyataan.
Dan…….Alhamdulillah! perjuangan yang sangat berat selama dua minggu malam itu membuahkan hasil yang setimpal. Bayangkan saja, kami menjadi juara I dari lomba yang baru pertama kali ini diselenggarakan. Satu persatu teman saya menyalami dan memeluk saya. Juga salam dari rekan-rekan sesama finalis.
Koordinator/Wakil Ketua Sanggar Fajar Ihya ’88 yang memang sejak awal ingin sekali naik keatas pentas menerima piala lambang permasi lenong itu dengan langkah enteng naik pentas diiringi dengan lampu blitz camera wartawan.
Dalam perjalanan pulang, saya membayangkan tentu Ketua Sanggar Fajar Ihya ’88 yang sedang kurang sehat akan sedikit dapat terobati dengan “hadiah” piala ini. Senyum dan tawa di wajah teman-teman saya tidak pernah surut. Memang hal itu sangat wajar mengingat perjuangan kami yang sangat berat selama dua minggu.